CERITA RAKYA PAPUA 2
Urban legend dari Masyarakat Suku Emdra ASAL MULA BATU EMAS Pada jaman batu, ada sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sorang bapak tua bersama kedua orang anaknya yang telah menginjak dewasa, yang laki-laki bernama Ninimbia dan perempuan bernama Nabea. Walaupun hidup mereka hanya bergantung pada hasil hutan dan buruan di sekitar Gunung Kolowle, mereka tampak tenteram dan damai. Dikisahkan bahwa bapak tua tersebut telah meninggal setelah menderita sakit beberapa hari. Namun sebelum ajal, ia sempat berpesan pada kedua anaknya agar mereka tidak pergi meninggalkan Gunung Kolowle hingga bayang-bayang arwahnya menemui kedua anak tersebut di kemudian hari. Sejak ditinggal mati oleh sang bapak, kehidupan kedua anak manusia tersebut semakin menderita. Kemarau panjang telah membuat pohon-pohon di hutan tidak berbuah dan binatang buruan pun seperti menghilang entah kemana rimbanya. Pada suatu hari, Ninimbia mencoba menyusuri Gunung Kolowle hingga sampailah ia di lereng bagian selatan. Begitu asyiknya mengejar kijang, sampai terlupa telah jauh meninggalkan honai tempat tinggalnya. Karena kekhawatirannya, sering kali Ninimbia berburu tanpa ditemani adiknya jika tempat yang dituju begitu jauh, sedangkan sang adik setia menjaga honai sebagaimana pesan sang bapak. Hari itu sungguh malang nasib Ninimbia. Kijang emas yang diharapkan sebagai hadiah buat sang adik, lenyap dari pandangan. Ia sudah menyusuri semak belukar dan akar yang bergantungan namun saying, ia tetap kehilangan jejak buruannya. Padahal, kijang itulah satu-satunya binatang buruan yang dilihat hingga sore hari. Ninimbia menghempaskan tubuhnya untuk melepas kesal dan lelah di atas sebuah batu pipih yang besar. Batu itupun basah oleh keringatnya. Sebelum Ninimbia tertidur, pandangannya sempat tertuju pada gunung besar di sebelah selatan yang menurut sang bapak, gunung misterius tersebut bernama Gunung Pleo. Untuk mencapainya, ia harus menuruni lereng selatan Gunung Kolowle dan menyusuri hulu Sungai Em. Malam purnama telah tiba. Seberkas cahaya rembulan menerobos diantara dahan, tepat menjilat bola mata Ninimbia. Dia terperanjat, tersadar dari mimpi. Sejenak ia termangu-mangu, seperti mengingat isi pesan arwah sang bapak dalam mimpinya. Tepat dugaan Ninimbia! Beberapa saat kemudian, sekonyong-konyong muncul gemerlap cahaya kuning menyala dari Puncak Gunung Pleo. Gemerlapnya mengalahkan sinar rembulan yang menerangi alam pegunungan malam itu. Peristiwa tersebut membuat Ninimbia semakin yakin dengan isi pesan sang bapak di dalam mimpi bahwa di tempat itulah nasib baik Ninimbia dan adiknya akan ditentukan. Malam itu juga Ninimbia segera pulang. Ia menyusuri keremangan malam dan lebatnya hutan di lereng Kolowle. Rasanya ia tidak sabar untuk segera memberitahukan kabarbaik itu kepada Nabea sampai besok pagi. Walaupun harus pulang tanpa hasil buruan atau sesuatu yang dapat dimakan adiknya sekedar pengusir rasa lapar. Beberapa hari kemudian, Ninimbia mengajak Nabea pergi meninggalkan Gunung Kolowle. Mereka menuruni lereng selatan, menyusuri hulu Sungai Em lalu mulai mendaki Gunung Pleo yang terjal itu. Sesampainya di Puncak Gunung Pleo, betapa terkejutnya mereka berdua ketika melihat dua ekor ular naga yang besar dan panjang sedang asyik bermain lempar-lemparan. Sebuah batu sebesar kepala tampak kuning menyala diterpa cahaya bulan. Batu itu dipermainkan oleh kedua ular naga dengan saling menyemburkannya dari mulut. Si naga jantan menurut sang bapak dalam mimpi Ninimbia, bernama Embi Tenan. Tubuhnya hitam muda dan ia berasal dari tanah rendah, sedangkan si naga betina bernama Yuminggul. Sekujur tubuhnya merah berbintik putih dengan kepala berwarna hitam mengkilap. Menurut petunjuk sang bapak, Yuminggul berasal dari lubang batu. Ninimbia dan Nabea mengatur siasat, bagaimana mereka dapat merebut benda ajaib itu dari kedua naga siluman tersebut. Sesuai petunjuk dalam mimpi, mereka mengatur sepuluh buah jamek (sejenis tas besar yang terbuat dari serat rotan) dilapis-lapis menjadi satu hingga kuat. Lalu, dilengkapi dengan priyang, yaitu tali rotan sehingga mulut jamek menganga. Setelah siap, mereka pun beraksi. Kedua kakak beradik itu mencari tempat yang tersembunyi tetapi berada diantara kedua naga itu. Tanpa diduga oleh kedua bisa melompat dari bongkah batu seraya menangkap batu kemilau itu dengan mulut jamek, kemudian dikancing dengan tali priyang. Lalu secepat kilat, Ninimbia menyambar tangan Nabea, lalu lari dari tempat itu. Hari berganti bulan, bulan pun berganti tahun…. Setelah berhasil mendapatkan batu kuning ajaib itu, Ninimbia membangun sebuah desa kecil di kaki Gunung Kolowle. Namun saying, Ninimbia kemudian mengawini adik kandungnya sendiri, Nabea yang akhirnya dikaruniai Sembilan orang anak. Desa kecil di tengah hutan itu pun ramai oleh hiruk-pikuk mereka. Keluarga besar itu begitu makmur dan tenteram, apalagi setelah hidup menetap dan berladang. Namun kemudian, perkimpoian saudara sekandung itupun mendapat kutukan dari arwah moyang mereka. Pada saat upacara persembahan arwah, Ninimbia dan Nabea harus berpisah dengan anak-anak mereka Robert, Teknay, Tinglabay, Yindie, Enday, Vinia, Plea, Ramina dan Kunglia harus menyebar ke seluruh penjuru alam. Begitulah hukuman yang harus dilalui apabila mereka tidak menginginkan kutukan itu terjadi. Setelah bunyi gendering tari perpisahan berhenti, Ninimbia dan Nabea mengumpulkan anak-anak mereka. Anak-anak mereka kelihatan tercengang ketika bapak dan ibu mereka memegang batu kuning mengilap yang diambil dari tempat yang dirahasiakan. Karena selama ini anak-anak itu tidak mengetahui benda tersebut. Setelah membaca mantera, Ninimbia memcah batu tersebut dengan tangan hingga menjadi Sembilan bagian yang sama. Lalu dibagikannya batu-batu tersebut kepada semua anaknya tanpa kecuali seraya berpesan agar anaknya menyebar ke segala penjuru alam. Batu tersebut merupakan symbol kekerabatan mereka. Mereka tidak diperbolehkan serakah, merampas kekayaan lingkungan dengan sekehendak hati jika tidak ingin mendapat bencana di kemudian hari. Kemudian, keluarga besar itu pun berpisah diiringi isak tangis. Itulah sebabnya, batu kuning menyala (sekarang disebut emas) itu berada di berbagai penjuru bumi. Sebab menurut kepercayaan Masyarakat Suku Emdra, batu itu terpendam bersama jasad moyangnya.)Sumber: Kumpulan Cerita Rakyat Papua Buku 2, Tana Naripi Sosane Besien, Grasindo, 2002. | |
Comments
Post a Comment