CERITA RAKYAT PAPUA 1

Terjadinya Sungai Kohoin Di TeminabuanSarwanik mengira akan turun hujan , tetapi suatu alur putih mengalir kearah perkampungan mereka.Pada zaman dahulu di suatu desa terpencil, di kampung Nahino di daerah Teminabuan Kabupaten Sorong, hiduplah seseorang laki-laki bernama Sachman. Ia tinggal di sebuah pondok di atas sebuah bukit yang dikelilingi oleh tanah yang subur. Ia hidup sebatang kara. Sachman merasa sangat senang hidup sendirian di daerahnya yang terpencil. Ia mengerjakan ladang dan kebunnya menurut kemauannya sendiri.Pada suatu hari menjelang waktu sore, ia merasa kedinginan karena seharian telah turun hujan dengan lebatnya. Sachman heran, walaupun hujan turun dengan lebat matahari tetap memancarkan sinarnya dengan terang. Yang lebih mengherankan lagi di pekarangan dan halaman sekitar rumahnya sedikitpun tidak terkena air hujan yang selebat itu. Sachman tidak habis pikir mengapa demikian, sungguh mengagumkan yang sekaligus membanggakan perasaan hati Sachman. Cuaca begitu dingin. Sachman menyalakan api unggun dan berdiang sambil memperhatikan pemandangan alam. Sementara Sachman sedang asyik memperhatikan pemandangan alam, tiba-tiba nampak dua sosok tubuh manusia seperti menukik dari angkasa turun bersama-sama dengan curahan hujan menuju pondoknya sehingga ia dapat melihat dengan jelas rupa dan jenis dua sosok dari angkasa tersebut yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang seorang laki-laki langsung mendekati Sachman yang sedang berdiang; sedang yang perempuan enggan turun, masih tergantung pada curahan air hujan. Rupanya api pendiang yang dibuatnya cukup menarik perhatian kedua sosok manusia tersebut. Sachman menjadi sangat heran ketika laki-laki tersebut tidak dapat terbang lagi. Berkali-kali ia sudah berusaha untuk terbang tetapi selalu gagal. Berbeda dengan perempuannya, ia cukup gesit terbang membumbung tinggi ke angkasa luas, akhirnya laki-laki itu putus asa lalu berjalan menghampiri Sachman. Menyaksikan keadaan laki-laki tersebut, Sachman iba. Dengan penuh kebijaksanaan. Sachman menyambut dan mempersilahkan laki-laki tersebut masuk ke pondoknya untuk makan. Sementara makan, laki-laki tersebut menceritakan dengan menggunakan bahasa isyarat bahwa ia tidak mungkin lagi bisa terbang. Ia berharap,Sachman bisa menolong dan menerimanya untuk hidup bersama di pondok tersebut. Ia berjanji akan membantu mengatasi semua kesulitan apapun yang mengganggu kehidupan Sachman. S Karena ia merasa sosok laki-laki dari angkasa itu tidak ada bedanya dengan manusia maka ia tidak ragu-ragu memperlakukan laki-laki tersebut seperti saudara sendiri.Hari berganti hari tak lama kemudian laki-laki angkasa itupun terbiasa dengan kehidupan manusia. Bahkan dalam banyak hal ia nampak lebih cerdik dan banyak akal dalam memecahkan masalah dan mengatasi kesulitan. Sachman merasa beruntung mendapat sahabat sekaligus menjadi saudara yang cerdik dan dapat membantu mengatasi segala kesulitan hidupnya. Ia memanggilnya dengan nama “Sarwanik” yang berarti pencetus ide gagasan. Setelah beberapa waktu lamanya Sarwanik berada di rumah Sachman mengundang banyak orang kampung datang ke rumah untuk meminta bantuan untuk memecahkan segala permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Sebagian masyarakat kampung masih takut kepada laki-laki dari angkasa itu. Sebenarnya setelah banyak bergaul dengan masyarakat banyak, Sarwanik sudah sama seperti orang biasa. Kini timbullah keinginan Sarwanik untuk membina keluarga, beristri seperti orang kampung lainnya, namun perempuan mana yang mau diperistri oleh Sarwanik. Perempuan di daerah tersebut merasa takut. Hal tersebut sangat disadari oleh Sarwanik sehingga iapun berpikir bagaimana seandainya ia mengawini seekor binatang. Pada waktu ia pergi ke hutan, Sarwanik mendapatkan seekor Marmut besar berbulu indah dan berekor panjang. Ia memutuskan untuk mengawini Si Marmut tersebut. Kemudian Sarwanik pulang membawa Marmut, sambil berpikir bagaimana cara menggaulinya. Sementara ia memikirkan hal tersebut, binatang itu lepas dan lari ke hutan.Dua hari lamanya Sarwanik mencari-cari tetapi usahanya sia-sia. Pada hari berikutnya ketika Sarwanik sedang berjalan mencari Marmut ia bertemu dengan teman sekampungnya bernama Saflate. Sarwanik diundangnya untuk makan bersama di rumah Saflate. Pada waktu makan Saflate menghidangkan masakan daging Marmut.Setelah Sarwanik mengetahui bahwa yang dimakan adalah daging Marmut yang ia cari maka dengan nada yang amat sedih ia mengakui bahwa binatang tersebut adalah Marmut yang akan ia jadikan istri. Mendengar pengakuan Sarwanik, Saflate merasa iba dan berusaha menghibur.

Janji ditepati. Sarwanik berhasil memperistri perempuan sekampungnya. Sejak itu banyak orang kampung yang berkenalan dengan Sarwanik. Hampir semua orang kampung itu hormat pada Sarwanik karena dikenal sebagai orang cerdik dan suka membantu siapa saja yang memerlukan. Barang siapa menolak atau menggabaikan nasehat, pasti akan mengalami kesulitan ataupun kesusahan bahkan kecelakaan.

Pada suatu hari Sarwanik mengundang beberapa kerabat dekatnya untuk bergotong royong menganyam atap dari daun sagu untuk membangun sebuah rumah. Hari sangat panas sehingga mereka cepat merasa haus dan untuk mengatasi rasa itu, secara bergilir mereka disuruh Sarwanik untuk mengambil air di sumber mata air yang tidak jauh dari situ. Masing-masing menggunakan tabung bambu untuk menampung air. Pada saat Wasfle tiba, Sarwanik memanggilnya dan memberi nasehat seperlunya. Ujar Sarwanik “Sobat Wasfle, apabila anda akan mengambil air, harus dilakukan dengan sabar dan berhati-hati, jangan sampai dedaunan yang terapung dimata air jangan dibersihkan maupun dipisahkan. Lagi pula jangan sekali-kali mencabuti akar tumput yang tumbuh di sekitarnya sebab itu pantangan. Setiap orang tidak boleh berbuat sembarangan terhadap sumber air yang ada.” Setelah mendengar pesan Sarwanik, Wasfle segera berangkat menuju ke tempat mata air.
Sesampai di mata air, ia segera mengisi tabung bambunya, kemudia membasuh dirinya yang dirasakan sangat gerah. Tetapi karena ia merasakan kurang puas karena aliran airnya terlalu kecil maka ia mulai menyingkirkan dedaunan yang ada dan diperkirakan menghambat jalannya air. Ia lupa pada pesan Sarwanik, ia mencabuti akar-akar rumput dan mata air tersebut menjadi lebar tetapi air menjadi keruh. Wasfle menunggu air itu kembali jernih lalu mandi sepuasnya, “Alangkah sejuknya air ini,” batin Wasfle. Sesudah puas mandi Wasfle kembali ke tempat bekerja sambil membawa tabung bambu yang telah penuh berisi air bersih. Sedangkan kawan-kawan yang lain sedang sibuk menganyam atap dan pekerjaan mereka hampir selesai. Sarwanik menghitung lembaran-lembaran atap yang sudah jadi untuk tahu sudah cukup atau belum untuk membuat satu rumah. Ketika Sarwanik sedang asyik menghitung-hitung atap sambil membetulkan anyaman, tiba-tiba terdengar suara menggelagar seperti halilintar. Mula-mula Sarwanik mengira akan turun hujan maka iapun menyuruh segera orang-orangnya untuk memasang atap agar dapat digunakan berteduh. Tetapi apa yang sebenarnya yang terjadi? Terlihatlah oleh mereka suatu alur putih membentang dari tempat mata air menyelusuri bagian-bagian tanah menurun. Jalur putih tersebut ternyata adalah arus air yang mengalir dengan derasnya dan menghanyutkan segala yang dilaluinya. Mereka terkejut sedangkan Wasfle ketakutan. Ia teringat akan perbuatannya melanggar pesan Sarwanik. Syukurlah, akhirnya mereka selamat. Arus air yang mengalir itu semakin lama semakin deras sehingga mampu menumbang-hanyutkan pohon-pohon yang besar dan binatang-binatang. Sampai sekarang air itu tampak masih terus mengalir menjadi sungai yang kini disebut sebagai Sungai Kohoin.

Sumber: Kumpulan Cerita Rakyat Gadis Yomngga dan Ular Naga, YPLHCP -GRASINDO

Terjadinya Nama-Nama Burung

pantai ormuZaman dahulu di Daerah Maribu, suatu lembah yang subur di tepi Sungai Ormu, hiduplah sepasang suami istri yang selalu rukun dan damai dan tak pernah kurang sesuatu apapun. Suami tersebut bernama Soi Mutsi. Ketika istrinya yang sudah hamil tua, sebelum anaknya lahir, istrinya telah dahulu meninggal. Setelah istrinya dimakamkan kemudian anak yang lahir itu dipelihara oleh arwah ibunya yang sudah berada di alam baka. Anak tersebut tumbuh dan subur. Setelah anak tersebut menginjak usia sekolah, ia suka bermain dengan anak-anak seumurnya di daerah tersebut. Namun anak ini dikenal oleh teman-temannya nakal dan mereka belum mengetahui asal-usulnya.Pada suatu waktu, sore hari yang cerah banyak anak kecil bermain di halaman, saat itu anak tersebut tidak ikut bermain. Kebiasaan anak itu pada dasarnya suka mengganggu anak yang lain apalagi anak-anak kecil hingga menangis. Hal tersebut cukup menarik perhatian masyarakat, sehingga banyak yang bertanya-tanya anak itu dari mana dan siapa orang tuanya. Mengapa ia suka mengganggu anak-anak,sehingga mereka memutuskan untuk menangkap anak tersebut. Pada suatu anak itu muncul lagi dan ikut bermain dengan anak-anak kecil sementara itu anak-anak muda yang berniat menangkapnya selalu memperhatikan gerak-gerik anak tersebut dan siap untuk menangkapnya. Ketika anak nakal tersebut sedang mengganggu anak lain sampai menangis maka saat itu juga ia ditangkap. Berita itu cepat tersiar ke seluruh kampung, banyak orang-orang datang melihatnya. Salah satu diantaranya adalah Soi Mutsi. Begitu Soi Mutsi melihat anak tersebut, hatinya tersentuh, perasaannya mengatakan bahwa itu anaknya yang ikut terkubur dengan ibunya. Maka tidak banyak berpikir Soi Mutsi segera mengambil anak tersebut lalu dibawanya pulang. Sejak itu anak tersebut dipelihara Soi Mutsi dan diajarinya cara-cara hidup yang baik termasuk bercocok tanam, berburu dan meramu. Ia diberi nama Soi Sro, sementara itu ibunya yang memelihara di alam baka mencari-cari dan menunggunya sepanjang waktu. Namun selalu tidak dapat kabar dan beritanya, dimana dan kemana anak itu pergi. Ia sangat sedih dan merindukan anak tersebut. Waktu terus berjalan anak itu semakin besar dan semakin cerdik. Pada suatu hari Soi Sro menangkap seekor Kuskus. Karena seharian ia berburu Soi Sro beristirahat di bawah pohon yang rindang sambil membayangkan ibunya.“Seandainya ibu masih hidup tentunya ibunya senang melihat hasil buruan anaknya”. Sementara ia melamun dan membayangkan ibunya, tiba-tiba arwah ibunya muncul dan langsung membawa Soi Sro dan hasil buruannya. Untunglah hal tersebut diketahui oleh tantenya yang dengan sigapnya merebutnya kembali dan menaruhnya di sebuah Pohon Mangga yang besar. Soi Sro tinggal sendirian di pohon tersebut tanpa ada yang menemani. Suatu saat datanglah seekor Burung Pipit lalu menegurnya,
“Hai sobat.., mengapa murung, apakah sobat memerlukan bantuan saya?” tanya Burung Pipit. “Dengarlah hai Burung Pipit, saya telah beberapa waktu berada di pohon ini. Siapa yang bisa membawaku pulang ke rumah ayahku,” keluh Soi Sro

“Tunggulah tiga hari lagi, saya akan berusaha menolongmu“ kata si Burung Pipit, sambil terbang meninggalkan Soi Sro. Pada senja harinya ketika udara sangat cerah nampak Soi Mutsi termenung sedih. Ia teringat anaknya yang telah beerapa lalu pergi berburu belum kembali. Tiba-tiba muncul Burung Pipit menghampirinya. “Hai Paitua Soi Mutsi, mengapa Bapak murung? “ sapa Burung Pipit.

“Anak Soi Sro telah beberapa hari tidak pulang dan perginya kemana saya tidak tahu, itulah yang membuat saya sedih.

“Bapak, kalau begitu cobalah tunggu dua atau tiga hari lagi. Apabila dua atau tiga hari lagi di langit sebelah barat tampak kehitam-hitaman itu adalah kami dengan rombongan yang mengantarkan anak bapak kembali ke sini,” ujar Burung Pipit. Tepat tiga hari kemudian, Burung Pipit memanggil semua keluarga burung, dari burung yang kecil sampai yang besar. Semua burung berkumpul mengelilingi Soi Sro yang duduk diatas Pohon Mangga. Pada saat itu juga Soi Sro disuruh naik ke atas punggung Burung Garuda. Kemudian terbang diiringi oleh semua burung dan Burung Pipit sebagai penunjuk jalannya. Sementara itu Soi Mutsi yang menunggu dengan harapan cemas, merasa gembira ketika melihat dilangit tampak kehitam-hitaman.“Apakah ini yang dimaksudkan oleh Burung Pipit tiga hari yang lalu?” pikir Soi Mutsi dalam hatinya. Semakin lama tanda-tanda itu semakin dekat, sehingga akhirnya tampaklah si Burung Pipit berada paling depan, lalu Burung Nuri dan disusul burung-burung yang lain dan yang paling terakhir Burung Garuda yang membawa Soi Sro untuk diserahkan kepada bapaknya, Paitua Soi Mutsi. Soi Mutsi menerima dengan penuh kegembiraan dan kemudian ia mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk membalas kebaikan burung-burung tersebut.

“Sobat-sobatku burung yang baik hati, aku berjanji akan membuat kebun buah-buahan yang besar dan lengkap dengan segala macam buah-buahan makanan burung. Setelah itu saya akan mengundang kalian untuk menikmati kebunku sebagai tanda terima kasih atas pertolongan kalian. Tetapi sekarang saya belum punya apa-apa hanya dapat mengucapkan banyak terima kasih dan silahkan kalian pulang. Hanya itu yang dikatakan oleh Soi Mutsi kepada burung-burung tersebut. Semenjak itu Soi Mutsi dan Soi Sro bekerja keras membuat kebun buah-buahan yang besar dan lengkap. Semua tanaman buah ada dikebunnya dan di sekeliling dilingkari dengan pagar yang tinggi, dilengkapi dengan dua buah pintu di depan dan di belakang. Tak ada sedikitpun celah yang tampak.Di dalam kebun dibuatnya sebuah pondok untuk beristirahat. Ketika Soi Mutsi merasa bahwa segala sesuatunya telah siap, maka diundangnya burung-burung yang telah membantu menolong anaknya hingga bisa kembali kepadanya. Maka berdatanglah segala macam jenis burung ke kebun Soi Mutsi, untuk menikmati berbagai makanan yang ada. Ketika burung itu sedang asyik menikmati makanan Soi Mutsi menutup pintu-pintu kebun di muka maupun di belakang. Setelah itu ia menggunakan pemukul kayu, ia memukul burung yang diundangnya hingga berjatuhan ke tanah. Melihat gelagat yang kurang baik, burung-burung tersebut panik ketakutan. Pada saat itu Burung Nuri berteriak–teriak agar semuanya terbang menyelamatkan diri masing-masing. Tidak lama kemudian kebun tersebut menjadi sepi. Semua burung telah pergi atau bersembunyi menghindari kekejaman si Soi Mutsi.
“Kemana saja burung-burung itu pergi tanya Soi Mutsi dalam hatinya, kemudian ia kembali ke pondok untuk beristirahat. Sesaat sebelum sampai ke pondok terdengar kepakan sayap burung yang bersembunyi di dalam abu perapian. Abunyapun berhamburan ketika burung itu terbang menghilang dari pandangan Soi Mutsi. Sehingga burung itu diberi nama Imuit Kusung atau Burung Kumkum. Setelah itu ketika ia melangkah mau mendekati noken sayur yang tergantung di pojok pondok, tiba-tiba keluarlah burung yang bersembunyi di situ yang kemudian terbang dengan gesitnya ke udara. Burung tersebut kemudian diberi nama Bomesi atau Kakatua. Begitu Soi Mutsi sampai dan membuka pintu pondok terbanglah burung yang bersembunyi di tempayan Sagu. Burung itu lalu diberi nama Mbiam atau Kakatua putih. Kemudian keluar lagi burung lain yang bersembunyi dalam tumpukan tempurung dan burung tersebut diberi nama Kakatua Merah.Akhirnya semua burung yang bersembunyi keluar berterbangan meninggalkan kebun Soi Mutsi dengan selamat. Sehingga Soi Mutsi menanggung kekecewaan dan penyesalan yang berkepanjangan. Mengapa ia sampai begitu sampai hati kepada kawanan burung yang telah membantu menyelamatkan anaknya. Ia berjanji dalam hati untuk tidak semena-mena dengan burung dan akan melindungi semua margasatwa yang ada di daerahnya.

*)Sumber: Cerita Rakyat Papua YPLHC - Grasindo

Comments

Popular posts from this blog

KEGIATAN AKTIVASI VSAT

TUGAS UTAMA KEPALA RUANGAN KEPERAWATAN