CERITA RAKYAT PAPUA 4
URBAN LEGEND DARI YAPEN WAROPEN PAPUA Legenda Batu Keramat Di daerah Yapen Timur, tepatnya di daerah Wawuti Revui, terdapat sebuah gunung bernama Kamboi Rama. Masyarakat berkumpul dan berpesta di gunung itu. Di gunung itu juga tinggal seorang Raja tanah atau dewa bernama Iriwonawai. Dewa itu memiliki sebuah tifa atau gendang yang diberi nama sokirei atau soworoi. Jika gendang itu berbunyi, orang-orang akan berdatangan dan berkumpul karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat gendang itu. Akan tetapi, yang dapat melihat gendang hanya orang-orang tua berkekuatan gaib. Kabupaten Boven Digoel (bahasa Belanda: boven berarti atas) adalah salah satu kabupaten di provinsi Papua, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Tanah Merah.Kabupaten Boven Digoel merupakan kabupaten baru yang dibentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2002, sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, bersamaan dengan sejumlah kabupaten lain di bagian selatan, yakni Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi. Dewa Iriwonawani mempunyai sebuah dusun yang banyak ditumbuhi tanaman sagu, yaitu dusun Aroempi. Sagu merupakan makanan pokok penduduk daerah Wawuti Revui. Akan tetapi, sagu itu lama-kelamaan berkurang. Dewa marah. Kemudian, tanaman sagu itu dipindah. Penduduk dusun Kamboi Rama ketakutan, mereka pindah ke daerah pantai. Di sana mereka mendirikan daerah baru yang diberi nama Randuayaivi. Setelah itu, di Kamboi Rama hanya tinggali Iriwonawai dan sepasang suami istri bernama Irimiami dan Isoray. Pada suatu pagi, Isoray duduk di atas batu untuk berjemur diri. Beberapa saat kemudian, batu yang didudukinya itu mengeluarkan gumpalan awan panas sehingga dia tidak tahan duduk di batu itu. Kemudian, Irimiami menduduki batu itu. Ternyata apa yang dirasakan Irimiami sama dengan yang dirasakan Isoray. Setelah itu, Irimiami mengambil daging rusa dan diletakkan di atas batu itu. Tidak lama kemudian, daging rusa itu diangkat dan dimakan. Ternyata daging rusa itu terasa lebih enak. Sejak itu, Irimiami dan Isoray selalu meletakkan makanan di atas batu itu. Pada suatu hari, Irimiami dan Isoray menggosok buluh bambu di batu itu. Tidak lama kemudian buluh bambu putus dan gosokan buluh bambu mengeluarkan percikan api. Irimiami dan Isoray heran. Kemudian, mereka mulai mengadakan percobaan di atas batu itu. Keesokan harinya, mereka mengumpulkan rumput dan daun kering. Rumput dan daun kering itu diletakkan di atas batu itu. Tidak lama kemudian, rumput dan daun itu mengeluarkan gumpalan awan seperti pernah mereka lihat. Irimiami dan Isoray pun menamakan batu itu batu keramat. Mereka mulai memuja batu itu. Pada siang hari, ketika matahari memancarkan sinarnya, Irimiami dan Isoray mencoba meletakkan rumput, daun dan ranting bambu di atas batu keramat. Mereka menunggu apa yang akan terjadi. Ternyata keluarlah awan merah yang sangat panas. Mereka ketakutan dan memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan awan merah itu. Permohonan mereka terkabul dan awan merah padam. Hari berikutnya mereka mengumpulkan rumput, daun dan kayu lebih banyak. Benda-benda itu mereka letakkan di atas batu keramat. Asap tebal mengepul di puncak Gunung Kamboi Rama selama enam hari. Gendang pun berbunyi. Masyarakat berkumpul ingin menyaksikan gendang soworoi. Irimiami dan Isoray sangat ketakutan. Tidak henti-hentinya mereka memohon agar kepulan asap tebal itu menghilang. Dewa Iriwonawai mengabulkan permintaan Irimiami dan Isoray. Setelah awan menipis, penduduk kampung Randuayaivi ingin melihat lebih dekat. Ternyata perbuatan itu tidak dilakukan Dewa Iriwonawai, tetapi di lakukan Irimiami dan Isoray. Irimiami dan Isoray menyambut baik kedatangan penduduk kampung Randuayaivi. Mereka pun menceritakan peristiwa itu dan asal mula ditemukan batu keramat. Penduduk tercengang mendengar cerita mereka. Apalagi setelah mereka mencicipi makanan yang dipanaskan diatas batu keramat. Oleh karena itu, Irimiami dan Isoray ingin supaya diadakan pesta adapt. Keesokan harinya, pesta adat dimulai. Penduduk kampung Randuayaivi berkumpul membawa perbekalan seperti sagu, keladi, daging dan makanan lainnya. Mereka berkumpul mengelilingi batu keramat sambil meletakkan rumput diatas batu itu. Tidak lama kemudian, keadaan sekitar Gunung Kamboi Rama menjadi sangat cerah dengan sinar api yang keluar dari batu keramat. Pesta adat berlangsung selama tiga hari tiga malam. Dalam pesta itu, Irimiami dan Isoray memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami. Kemudian Irimiami dan Isoray memerintahkan masyarakat yang hadir di pesta itu untuk mengelilingi batu keramat sambil menari dan memuja batu itu. Inilah legenda masyarakat Irian Jaya yang sampai sekarang mengeramatkan batu api penemuan Irimiami dan Isoray. Mereka juga percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah orang pertama yang menemukan api. Setahun sekali dilakukan upacara pemujaan terhadap batu keramat itu.
http://www.bali-directory.com/educat...atuKeramat.asp
Manusia Menjelma Menjadi Hewan Pada zaman dahulu di pulau Yapen dan pulau-pulau di sekelilingnya tidak dihuni oleh seorangpun. Dari mana asal dan datangnya penduduk yang ada pada dewasa ini, dikatakan bahwa dulunya mereka bertempat tinggal di gunung Tonater di daerah Waropen. Pada waktu itu mereka hanya memiliki satu bahasa. Pada suatu hari penduduk gunung Tonater ini berniat untuk membuat sebuah menara yang tingginya dapat mencapai bulan. Adapun maksud pembuatan menara ini adalah supaya mereka boleh naik ke bulan, untuk menemui para bidadari yang berada di bulan. Menara tersebut dibuat dengan bambu dan di beri bertangga. Dari hari ke hari mereka sibuk mengerjakannya agar rencana mereka terwujud. http://folktalesnusantara.blogspot.c...adi-hewan.html Peta wilayah Yapen Waropen Quote:
|
| ||
| |||
| |||
| |||
URBAN LEGEND DARI JAYAPURAPuteri Bulan Masuk Ladang Orang Nimboran
Diceritakan Kembali Oleh Alexander Leonard GriaponKata yang mempunyai cerita, di Keitemung, Nimboran pada zaman yang tak diketahui, hiduplah seorang peladang yang membuat ladangnya jauh di sebelah timur kampung itu, di tepi Danau Sentani. Ladangnya sangat besar dan dilindungi dengan bentangan kayu yang besar-besar, tinggi dan kokoh sehingga tidak memberikan celah pada setiap orang dan binatang besar masuk ke dalamnya untuk mencuri. Setiap pagi hari, peladang ini mengunjungi ladangnya dengan perasaan heran yang semakin hari semakin bertambah karena ia menemukan bekas kaki babi yang sangat banyak di dalam ladangnya diantara tanaman namun ia tidak menemukan dari mana babi-babi yang masuk ke ladangnya berdatangan karena seluruh pagar masih tetap berdiri dengan teguh tanpa celah yang memberikan peluang untuk binatang jenis babi masuk keluar ladang dengan bebas. Dorongan hasrat untuk mengetahui dari mana babi-babi hutan masuk pagar ladangnya semakin menguatkan niat peladang itu untuk bersembunyi dan mengintip. Pada suatu malam, ia berjaga dengan bersembunyi di dalam hutan di sisi luar pagar ladangnya. Tepat tengah malam ia sangat terperanjat ketika melihat sesosok puteri keluar dari dalam air Danau Sentani dan berjalan langsung menuju ladangnya. Tangan puteri bulan memegang beberapa taring dan kuku kaki babi hutan yang akan digunakannya untuk meninggalkan bekas di ladang setelah mencuri tanaman. Wajah puteri bulan bersinar lembut menerangi seluruh ladang dan hutan-hutan di sekitarnya yang memantulkan keindahan Danau Sentani di malam hari. Pegunungan Cycloop menjadi semakin indah kebiruan diselimuti awan pada puncaknya yang tertinggi ketika sinar puteri bulan dipantulkan kembali ke mata peladang Keitemung. Sangat mengagumkan tetapi mengapa puteri bulan mencuri di dalam ladang? Ketika puteri bulan memanjat pagar ladang, peladang itu menangkap tangannya dan menjatuhkannya ke bawah di luar ladang dan memasukkannya ke dalam kantong jaring tali yang besar, puteri bulan dijerat ke dalam kantong itu namun terang wajahnya masih tetap menyinari seluruh sisi luar kebunnya kemudian ia membawa pulang ke rumahnya dan disimpan dalam koper kayu pada setiap siang hari. Bila malam hari tiba, peladang membawa puteri bulan ke ladang atau ke tempat lain untuk mencari binatang buruan di hutan. Sejak ia memperoleh puteri bulan, setiap malam ia pergi berburu babi hutan di jebakan Pohon Sagu, ia bersembunyi dan menyembunyikan puteri bulan dalam kantongnya dan kantong itu disembunyikan dibalik Pohon-pohon Sagu. Ketika ia mendengar suara dan bunyi langkah babi hutan mendekat untuk makan sagu, segera ia mengeluarkan puteri bulan dari dalam kantong yang disembunyikannya, mengangkat tinggi dan kegelapan malam di tengah Hutan Sagu berubah menjadi terang benderang yang membuat babi hutan kaget, tak berdaya dan diam di tempat sehingga peladang memanahnya dengan enteng sampai mati. Demikianlah dilakukan setiap malam hari, perburuan yang selalu berhasil tanpa tantangan. Rahasia kepemilikan atas puteri bulan belum diketahui oleh Penduduk Kampung Keeitemung. Peladang tak menyangka, ada orang kampung yang mulai curiga keberhasilan berburu yang ia lakukan setiap malam. Suatu malam, ia kembali meninggalkan kampung untuk berburu, tanpa sepengetahuan peladang itu, seseorang membuntutinya dari belakang untuk mengadakan penyelidikan. Orang itu sangat heran ketika mengetahui cara peladang memperoleh seluruh binatang buruannya. Ketika kantong peladang diletakkan kembali di tempat persembunyiannya, ada tangan lain yang mengambil keluar puteri bulan dari dalam kantongnya, terjadi tarik-menarik puteri bulan antara kedua orang ini sehingga puteri bulan terbagi dua bagian. Sang pencuri melemparkan sebagian tubuh puteri bulan ke atas sehingga ia melayang menjauhi keduanya. Peladang yang sedang geram menyatakan kepada pencuri, “Karena engkau telah mengetahui rahasia saya maka saya juga melemparkan sebagian tubuh puteri bulan ke atas.” Dua bagian tubuh puteri bulan bersatu di atas Kampung Keitemung dan mulai saat itu, sinar bulan purnama dapat digunakan secara bersama-sama oleh semua orang kampung untuk berburu babi hutan di dusun sagu masing-masing pada malam hari ketika sang rembulan muncul dengan indahnya. Kata yang mempunyai cerita, kalau si pengintip tidak pernah mengikuti peladang dari belakang maka sampai saat ini bulan terang hanya dikuasai satu orang peladang dan keturunannya dalam garis laki-laki dari Kampung Keitemung di Nimboran. (Sumber/penutur Selfina Hamokwarong/Griapon, 1974) Sumber: Cerita Rakyat Papua dari Jayapura (Yang Terhempas Dalam Goncangan Peradaban). Penerbit: Arika Publisher, Jayapura, Oktober 2009 | |||
sambungan dari atasMaka disebarlah biji sagu di tepi sungai Nubai. "Kebun ini kusebut Yachmani, peliharalah sebaik-baiknya,"katanya lagi. "Lagipula, guna mengenangkan persaudaraan kita seterusnya, maka kepada anak cucumu kelak aku ijinkan mengukir gambarku baik paa badan perahu maupun pada ujung kayu pendayung(hingga kini keluarga Sademboro mengukir badan perahu dan ujung pendayung dengan gambar ikan Chai, ikan yang tidak boleh dimakan oleh keluarga tersebut) "Mereka kemudian hari kuperkenankan juga menyimpan barang-barang perhiasan di dalam tas anyaman seperti yang saya pakai sekarang, sochri-ai" "Apabila anak cucumu kelak melahirkan anak, maka berilah nama Chai, apabila bayi yang dilahirkan itu laki-laki dan jika perempuan namailah Rechoi. Adalagi permintaanku, sebutlah babi jantan dengan Nao dan yang betina Biae (Nao diberikan juga sebagai nama ombak laki-laki, ombak laut dari angin barat, sedang ombak yang dibawa angin timur-ombak musim hujan, disebut Biae yang berarti ombak betina). Segala pesan Wei diperhatikan dan ia berjanji akan melaksanakannya. Weipun mengenakan pakaian ikan kembali, bersiap-siap untuk terjun. Sademboro cepat-cepat berkata "Tunggu dulu, jangan terjun dulu. Aku mempunyai saran". Wei tidak jadi terjun ia mendengarkan Sademboro. "Kukira kamu lebih baik tinggal di sini saja. Di sebelah barat Pulau Kayu Injau terdapat celah batu, sangat aman untuk berlindung. Aku khawatir orang-orang di Nubai akan membunuhmu." "Akan kita lihat keadaannya," Jawab Wei. Bersama-sama mereka pergi ke barat. Benar juga di sana terdapat celah batu seperti yang diceritakan Sademboro. Wei pun seger terjun menuju celah itu. Tetapi celah itu kecil, tiak dapat memuat tubuh Wei. Sejak itu tempat itu disebut Sarbache Kechaiji. Dari atas permukaan air Wei berkata "Aku terpaksa minta diri Sademboro. Terimakasih atas pertolonganmu, lebih-lebih atas usahamu mencarikan tempat bagiku, meskipun terlalu sempit. itu membawa kebaikan bagi kita, sebab Skou tempat asalku letaknya tak terlalu jauh dari sini, pasti keluargaku akan tahu jika aku menetap di tempat ini. Kita sudah mempererat persaudaraan. Pemberianku telah kau balas dengan memberikan sesuatu padaku, maka ijinkan aku berangkat..." "Jangan... jangan pergi Wei. Tinggalah di sini aku akan melindungimu ... Apa jawabku jika keluargamu datang kemari?" "Aku tahu kebaikanmu Sademboro. Jika kemudian hari anak cucumu berlebih memperoleh hasil sagu atau ikan, janganlah melupakan pada keluarga saya di Skou. Kuminta juga kepadamu agar sejak sekarang kamu dan anak cucumu tidak makan ikan Chai, udang bakau, ikanputra ware, ikan chrui, ikan cumeja serta kerang jenis timsane. Aku berdoa kamu an keluargamu dijauhkan dari segala penyakit." "Jika waktunya datang anak cucumu meninggal, maka ruh-ruh keluargamu akan kami tunggu di bukit Surbarai di dekat Taria. Olehkarenanya mandikan dulu mayatnya dengan air sungai Nubai agar mereka dapat berkumpul di bukit bersama-sama. Dan ingatlah, sewaktu angin bertiup dari arah barat lewat sungai Nubai menuju kampung, itulah tandanya bahwa ada seseorang dari keluargamu yang kami pangil ke Tarfia." Banyak sekali pesan Wei, Sademboro mencatatnya alam hati. Wei minta diri, menuju barat. Pada keadaan itu penduduk menyebutnya Wei Tahaiti artinya Chai di laut. Wei berpesan "Saya tidak menetap, tujuan saya adalah Tarfia. Pesanku bagi anak-cucumua, jika memotong pohon sagu jangan dipotong habis semuanya. Tinggalkan satu-dua batang dan beralihlah memotong sagu ke tempat lain. Dengan demikian kamu an anak cucumu tidak kekurangan makan." Setelah selesai Wei meneruskan perjalanan yang terakhir. Sore hari ia mendekati kampung Tarfi. Penduduk seempat belum naik ke rumah, mereka masih banyak yang berada di atas air mencari ikan. Wei menunggu dari jauh. Hari mulai gelap, perlahan-lahan ia mendekati kampung. Dilihatnya seorang laki-laki tua duduk sendiri di dekat tangga. Ia menganggukkan kepala mengajak berkenalan. "Pak tua. aku datang untuk mintya pertolongan," kata Wei. Laki-laki tua itu terkejut, lalu memperhatikan mahluk di depannya. Lembing telah siap di tangannya. Demikianlah pekerjaan memindahkan pohon dilaksanakan oleh orang-orang tua yang telah banyak pengalaman. Mereka mengunakan ilmu warisan nenek moyang. Maka terlemparlah batang pohon ajaib jauh-jauh oleh angin besar dan jauhd dari daerah Nimboran. Buah-buah yang berbau busuk pecah berhamburan isinya, berupa kerang kerang kauri, alat pembayar berhaga pada waktu itu. Itulah konon asal mulanya mengapa di daerah Nimboran di pedalaman terdapat banyak peninggalan kerang laut, sedang di daerah pantai jarang ditemukan. http://legendanusantara.blogdrive.com/
|
|
Comments
Post a Comment